Jumat, 29 Mei 2009

HIDUP kita 'Nasib' atau 'Takdir'


Sangat menarik untuk melihat beberapa dari kita begitu yakin dengan 'nasib' buruk kita, atau 'takdir' kita untuk tidak sukses atau tidak berhasil di bidang kita. Apalagi seolah kalau kita melakukan sesuatu untuk lebih berhasil atau lebih sukses dari kondisi kita sekarang, berarti kita 'melawan' takdir atau nasib tadi. Lebih menarik lagi, beberapa kita merasa tidak menginginkan hal-hal lebih baik untuk kita, karena menurut kita 'takdir' kita adalah apa yang sedang kita hidupi dan nikmati sekarang. Bahkan, walau sejarah sudah membuktikan berkali-kali betapa orang-orang tertentu melewati batas normal dan menghasilkan yang luar biasa sekalipun, kita hanya sampai batas kagum, dan bergumam, "Itu memang sudah 'takdir' mereka!"
Yang jadi pertanyaan khas NLP adalah: darimana kita tahu bahwa itu 'takdir' kita? Bagaimana kita sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah 'nasib' kita? Bagaimana pula kita yakin mengenai takdir orang lain?

Oke, mari kita lihat beberapa kemungkinan.
Satu, kita sudah berusaha berkali-kali, tapi tidak melihat dan merasakan perubahan. Generalisasi mudah: sudah takdir saya untuk 'tetap' begini.
Dua, kita sudah menjalankan beberapa inisiatif, tapi tidak melihat dan merasakan perubahan. Generalisasi mudah: saya sudah coba 'semua' cara tapi keadaan tidak berubah, saya sudah ditakdirkan begini.
Tiga, kita sudah melihat beberapa orang dalam jangkauan peta realita kita yang mirip status atau latar belakang dengan kita, yang tidak berhasil atau ber-'nasib' buruk. Generalisasi sederhana: mereka juga tidak berhasil, saya tidak lebih baik dari mereka!
Empat, kita melihat atau mendengarkan betapa di luar sana persaingan dan kompetisi di konteks yang kita geluti semakin sempit dan terlalu banyak orang yang bermain di lapangan yang sama. Generalisasi mudah: saya tidak lebih baik dari mereka yang bersaing, mana mungkin ada kesempatan untuk saya?


Lima, ...........Anda bisa mengisi sendiri dengan asumsi Anda mengenai kemungkinan lain.
Nah, yang menarik, dari hal-hal di atas, walaupun menyangkut asumsi 'nasib' atau 'takdir', ternyata bentuknya adalah GENERALISASI dari apa yang dilihat, didengar, dialami. Tentu saja, tidak ada satupun kita yang benar-benar mendapatkan 'bisikan' dari Tuhan bahwa 'nasib' atau 'takdir' kita sudah demikian? Tentu saja tidak satupun dari kita 'berbincang-bincang' dengan Tuhan lalu mendapatkan penjelasan langsung dari Tuhan tentang apa yang menjadi 'nasib' kita, bukan? Kita hanya menyimpulkan saja! Kita hanya membuat kesimpulan berdasarkan jangkauan penginderaan kita saja, bahwa itu 'nasib' atau 'takdir' kita.
Lalu, kalau begitu, darimana kita tahu 'nasib' kita sebenarnya? Bagaimana kita tahu 'takdir' kita? Kalau memang kita percaya bahwa setiap kita hidup dalam garis yang sudah ditetapkan oleh Tuhan, apakah ada cara untuk mengetahuinya?
Apakah dari peramal nasib? Apakah dari guratan tangan? Apakah dari tanggal lahir? Apakah dari zodiac? Shio? Atau dari setiap langkah kita? Atau dari setiap kejadian yang kita alami?
Atau, apakah kita boleh berasumsi hanya dari pengalaman dan perasaan kita saja? Dan sementara kita mau berasumsi, apakah kita diam, menunggu perkembangan 'nasib', atau kita boleh tetap melakukan sesuatu untuk mencari 'nasib' kita yang sebenarnya? Sampai di mana kita berhenti dan MEMUTUSKAN bahwa itu 'nasib' kita? Bagaimana kita tahu?
Saya pernah tuliskan ini mengenai 'batasan' kita; bahwa BETUL SEKALI manusia punya keterbatasan. BETUL SEKALI manusia punya batasan. Dan dalam terminologi lain, batasan ini bisa serupa dengan asumsi 'nasib' atau 'takdir'. Dan memang, sangat mungkin manusia punya batasan masing-masing atau 'nasib' atau 'takdir' masing-masing. Tapi tidak satupun dari kita yang tahu batasan tersebut. Kita tidak tahu secara pasti batasan kita atau 'nasib' atau 'takdir' kita masing-masing. Kita hanya berasumsi, kita hanya berpersepsi mengenai batasan tersebut, sebatas penginderaan kita saja. Sebatas penglihatan, pendengaran, pengalaman kita saja. Dan, kalau memang kita tidak tahu secara pasti batasan ini, bukankah menarik mencari tahu dengan terus mendaki, naik, berkembang, bertambah baik, pintar, mampu, dan seterusnya? Dan kadang malah mengejutkan diri kita sendiri dengan apa yang bisa kita capai?
Beberapa kita akhirnya berhenti melakukan apapun dan membuat kesimpulan atau asumsi final tentang 'nasib' kita, sementara beberapa tidak pernah berhenti 'mencari' dan terus melakukan apapun. Persamaannya: sama-sama tahu bahwa ada 'batasan' atau ada 'takdir' untuk setiap manusia. Perbedaannya: satu berhenti mencari, satu terus mencari. Ada persamaan satu lagi: di titik KEPUTUSAN tersebut, keduanya sama-sama MEMUTUSKAN mengenai 'batasan'-nya. Yang berhenti MEMUTUSKAN bahwa itulah batasan atau 'nasib' atau 'takdir'-nya, sedangkan yang terus mendaki MEMUTUSKAN bukan itu batasannya atau 'nasib'-nya tidak berhenti di situ.
Anda yang mana? Sampai batas mana Anda bersedia terus berjalan? Sampai batas mana Anda bersedia memberikan segalanya?

Have a positive day!

(Hingdranata Nikolay)

Sabtu, 09 Mei 2009

Cukupkah Berpikir Positif?

�Jangan hanya menenggelamkan diri pada kesibukan demi kesibukan tetapi bertanyalah tujuan dari kesibukan yang Anda jalani.�

Antara Jalan & Tujuan
Abraham Maslow pernah mengeluarkan nasehat bahwa salah satu yang penting untuk diingat bagi siapa pun yang ingin mengaktualisasikan potensinya adalah membedakan antara jalan dan tujuan dalam praktek hidup. Dalam teori, pasti semua orang sudah tahu apa itu perbedaan antara jalan dan tujuan, tetapi dalam praktek, jawabnya belum tentu.
Andaikan semua orang sudah mengerti perbedaan antara jalan dan tujuan dalam praktek, tentulah ilmu manajemen tidak sampai berpetuah: �Jangan menjadikan aktivitas sebagai tujuan�. Aktivitas adalah jalan, cara atau sarana sedangkan tujuan adalah sasaran yang hendak kita wujudkan dengan cara yang kita terapkan. Aktivitas bukanlah tujuan dan tujuan bukanlah aktivitas, dan karena itu perlu dibedakan.
Andaikan semua orang sudah mengerti perbedaan antara cara dan tujuan dalam praktek, tentulah Thomas Alva Edison tidak sampai berpetuah: �Jangan hanya menenggelamkan diri pada kesibukan demi kesibukan tetapi bertanyalah tujuan dari kesibukan yang Anda jalani.� Kesibukan kerapkali melupakan kita akan tujuan dari kesibukan itu dan karena itulah maka perlu diingatkan.
Dalam kaitan dengan pembahasan kali ini, mungkin sekali-sekali kita perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah berpikir positif itu jalan atau tujuan? Menggunakannya sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani sedangkan menggunakannya sebagai tujuan berarti kita cukup hanya sampai pada tahap menciptakan pikiran positif atas kenyataan buruk di tempat kerja, di sekolah, di kampus dan di mana-mana.
Memilih sebagai jalan atau tujuan, sebenarnya adalah hak kita. Tidak ada orang yang akan melaporkan kita ke polisi dengan memilih salah satunya. Tetapi kalau kita berbicara manfaat yang sedikit dan manfaat yang banyak maka barangkali sudah menjadi keharusan-pribadi untuk selalu mengingat bahwa berpikir positif itu adalah jalan yang kita bangun untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Logisnya bisa dijelaskan bahwa jika jalan yang kita pilih itu positif, maka perjalanan kita menuju terminal tujuan juga positif atau terhindar dari hambatan-hambatan negatif akibat dari kekeliruan kita dalam memilih jalan. Begitu �kan?
Hal ini agak berbeda sedikit dengan ketika kita memilihnya sebagai tujuan. Dibilang baik memang sudah baik dan dibilang untung memang sudah untung. Untung yang paling riil adalah mendapatkan suasana batin yang positif atau terhindar dari hal-hal buruk yang diakibatkan oleh pikiran negatif. Dale Carnegie menyimpulkan: �Ingatlah kebahagiaan tidak tergantung pada siapa dirimu dan apa yang kamu miliki tetapi tergantung pada apa yang kamu pikirkan.�
Hanya saja, jika ini dikaitkan dengan persoalan mengaktualkan potensi atau meraih prestasi yang lebih tinggi di bidang-bidang yang sudah kita pilih, tentulah masih belum final. Mengapa? Perlu disadari bahwa suasana batin yang sepositif apapun tidak bisa mengaktualisasikan potensi sedikit meskipun kalau suasana batin kita keruh akibat pikiran negatif, maka usaha kita untuk mengaktualisasikan potensi itu dipastikan terhambat. Jangankan potensi, sampah pun, menurut Tom Peters, tidak bisa dibuang oleh pemikiran yang jenius atau oleh strategi yang jitu.
Bahkan menurut Charles A. O'Reilly, Professor, Stanford Graduate School of Business, dunia ini tidak peduli dengan apa yang kita tahu kecuali apa yang kita lakukan. Puncak dari kehidupan ini adalah tindakan, bukan pengetahuan. Mahatma Gandhi menyimpulkan bahwa ukuran penilaian manusia yang paling akhir adalah aksi, titik. Ini sudah klop dengan penjelasan Tuhan bahwa kita tidak mendapatkan balasan dari apa yang kita khayalkan (fantasi) melainkan dari apa yang kita usahakan.
Rahasia Berpikir Positif
Dengan memiliki suasana batin positif, maka ini akan menjadi sangat kondusif (mendukung) untuk menjalankan proses positif berikutnya, yang antara lain:

1. PELAJARAN
�Hukum Tuhannya� mengatakan bahwa pelajaran positif itu ada di mana-mana sepanjang kita mau menggali dan menyerapnya: di balik kesalahan, kegagalan, pengkhianatan orang lain atas kita, di balik musibah buruk yang menimpa kita dan seterusnya. Hanya saja, meskipun pelajaran positif itu ada di mana-mana, tetapi prakteknya membuktikan bahwa pelajaran positif itu tidak bisa kita serap kalau batin kita sudah keruh oleh pikiran-pikiran negatif.
Mendapatkan pelajaran positif memang tidak langsung mengangkat prestasi kita tetapi kalau kita ingin mengubah diri kita untuk menjadi semakin positif maka syarat mutlak yang harus dimiliki adalah menambah jumlah dan kualitas pelajaran positif yang kita serap, seperti kata Samuel Smile dalam salah satu tulisannya: �Tidak benar jika orang berpikir bahwa kesuksesan diciptakan dari kesuksesan. Seringkali kesuksesan dihasilkan dari kegagalan. Persepsi, study, nasehat dan tauladan tidak bisa mengajarkan kesuksesan sebanyak yang diajarkan oleh kegagalan.�
2. KEPUTUSAN
Satu kenyataan buruk yang kita hadapi pada hakekatnya tidak mendekte kita harus mengambil keputusan tertentu tetapi menawarkan pilihan kepada kita. Tawaran itu antara lain adalah: a) boleh memilih keputusan untuk mundur,b) boleh memilih keputusan untuk mandek / kembali ke semula dan c) boleh memilih keputusan untuk terus melangkah dengan menyiasati, mencari celah kreatif, dan lain-lain.
Nah, salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki untuk melahirkan keputusan yang nomor tiga adalah memiliki batin yang kondusif dan positif. Kita saksikan sendiri di lapangan bahwa meskipun semua orang punya keinginan untuk memilih keputusan nomor tiga, tetapi karena hanya sedikit orang yang punya kemampuan menghilangkan pikiran negatif, maka prakteknya justru keputusan nomor dua atau nomor satu yang menjadi pilihan favorit.
Jika dikaitkan dengan praktek hidup sehari-hari, ada hal yang tidak bisa diingkari bahwa semua orang setiap saat telah memilih keputusan tertentu tentang apa yang akan dilakukannya. Dari keputusan yang dipilih itulah lahir sebuah tindakan yang menjadi penyebab sebuah hasil. Karena itu ada saran Brian Tracy yang patut kita renungkan bahwa yang menentukan nasib kita itu bukan apa yang menimpa kita melainkan keputusan yang kita ambil atas apa yang menimpa kita. Artinya, keputusan mundur akan menghasilkan kemunduran; keputusan mandek akan menghasilkan kemandekan dan keputusan maju akan menghasilkan kemajuan.
3. KETERATURAN LANGKAH
Apa yang menyebabkan langkah kita terkadang mudah diserang virus keputusasaan dan kepasrahan? Apa yang terkadang membuat kita mudah bongkar-pasang rencana hanya karena mood sesaat? Sebab-sebabnya tentu banyak tetapi salah satunya adalah pikiran negatif. Sekuat apapun fisik kita atau sekuat apapun keinginan kita untuk mewujudkan tujuan, biasanya akan tidak banyak membantu apabila pikiran ini sudah penuh dengan kotoran negatif. Kita menjadi orang yang putus asa bukan karena kita tidak mampu bertahan, melainkan karena kita telah mengambil keputusan yang fatal.
Nah, dengan menciptakan pikiran positif atas hal-hal buruk yang menimpa kita setidak-tidaknya ini menjadi bekal buat kita untuk melakukan hal-hal positif secara terus-menerus dalam arti tidak mengandalkan perubahan keadaan atau tidak mudah disakiti oleh pukulan keadaan. Seperti pesan Denis Waitley, �Bukan dirimu yang menjadi penghambat kemajuanmu tetapi muatan pikiran yang kamu bawa.�
Dari pesan itu mungkin ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa pikiran negatif yang kita bawa atau yang kita biarkan itulah yang terkadang menjadi penghambat langkah kita atau mengganggu kelancaran langkah kita dalam menapaki tujuan yang sudah kita tetapkan. Karena itu paslah jika ada permisalan yang menggambarkan bahwa pikiran negatif itu akan memberikan kotoran di dada kita. Dada yang penuh dengan kotoran yang kita biarkan akan membuat punggung kita terbebani oleh muatan-muatan yang memberatkan lalu mengakibatkan langkah ini tidak selancar seperti yang kita inginkan.
Hal-hal Apakah yang Perlu Dijalani?
Di atas sudah kita singgung bahwa menggunakan pikiran positif sebagai jalan berarti setelah kita berpikir positif masih ada proses positif yang perlu kita jalani. Apa yang perlu untuk dijalani?
1. Temukan pelajaran khusus
Entah sadar atau tidak, kerapkali istilah berpikir positif ini hanya kita praktekkan sebatas berprasangka baik, meyakini adanya hikmah yang mencerahkan, atau sebatas punya opini positif. Tentu ini sudah benar dan sudah baik tetapi kalau kita kaitkan dengan hasil sedikit dan hasil yang lebih banyak, maka proses positif yang perlu kita lakukan adalah mengaktifkan pikiran kita untuk menemukan pelajaran-pelajaran spesifik yang benar-benar cocok dan relevan dengan keadaan-diri kita pada hari ini.
Sebut saja misalnya kita gagal dalam usaha. Memang sudah benar kalau kita berpikir bahwa di balik kegagalan itu ada hikmah buat kita. Hanya saja hikmah di sini mengandung pengertian yang seluas isi daratan, alias masih umum. Kegagalan usaha kita bisa disebabkan oleh waktu yang belum tepat, kesalahan memilih orang, kurang gigih, kurang skill, keadaan eksternal yang di luar kontrol, dan lain-lain. Karena tidak mungkin kita menyerap hikmah secara keseluruhan dalam satu waktu, maka yang paling penting adalah menyerap hikmah yang relevan saja sebagai bahan mengoreksi diri.
2. Gunakan dalam hal khusus
Banyak pengalaman yang sudah menguji bahwa memiliki rumusan tujuan yang jelas dan jelas-jelas diperjuangkan, ternyata memiliki manfaat cukup besar bagi proses positif. Dengan kata lain, untuk bisa menggunakan pelajaran yang sudah kita serap menuntut adanya rumusan tujuan yang kita upayakan realisasinya. Tanpa ini, mungkin saja pelajaran positif yang kita temukan itu akan nganggur alias kurang banyak manfaatnya.
J.M. Barrie memberikan contoh dari pengalamannya: �Selama lebih dari 30 tahun saya memimpin, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang paling penting di sini adalah memiliki kemampuan yang saya sebut �kegagalan maju�. Kemampuan ini bukan sekedar memiliki sikap positif terhadap kesalahan. Kegagalan maju adalah kemampuan untuk bangkit setelah anda dipukul mundur, kemampuan untuk belajar dari kesalahan dan kemampuan untuk melangkah maju ke arah yang lebih baik.�
Dengan kata lain, agar kita bisa menjadikan kegagalan kita sebagai dorongan untuk meraih kemajuan tidak cukup hanya dengan memiliki pikiran positif dan sikap positif atas kegagalan itu, melainkan dibutuhkan upaya kita untuk menggunakan pelajaran yang sudah kita dapatkan dalam usaha meraih keinginan berikutnya. Pelajaran, pengetahuan, dan petunjuk pengalaman yang tidak kita gunakan untuk membimbing praktek kita pada hari ini akan menjadi dokuman yang nilai dan manfaatnya kurang.
3. Membuka Diri
Seperti yang sudah kita singgung di muka bahwa pelajaran positif yang ada di balik satu masalah, satu kenyataan buruk, atau di balik peristiwa yang kita alami dalam praktek hidup itu sangatlah tidak terbatas, tidak tunggal, tidak mono, dan karena itu sering disebut petunjuk (hidayah). Saking banyaknya itu, maka tidak mungkin ruangan milik kita bisa sanggup menyerap seluruhnya dan sekaligus sehingga yang dibutuhkan adalah membuka diri atas berbagai pelajaran positif yang diwahyukan oleh kesalahan kita, kesalahan orang lain yang kita lihat, temuan ilmu pengetahuan, nasehat, dan seterusnya.
Cak Nur pernah berpesan: �Sikap terbuka adalah sebagian dari pada iman. Sebab seseorang tidak mungkin menerima pencerahan dan kebenaran jika dia tidak terbuka.� Sikap terbuka menurut Ajaran Kejawen (Javanese Spiritual Doktrine) merupakan syarat untuk mengarungi jagat �kaweruh� (sains, tehnologi, dst). �Syarat utama bagi pelajar adalah memiliki kemampuan dalam menghilangkan atau menyimpan untuk sementara waktu pemahaman dogmatis yang telah dimiliki dan mempersiapkan diri dengan keterbukaan hati-pikiran untuk merambah jagat ilmu pengetahuan. Selamat menggunakan. (jp: Ubaydillah, AN )
Have a positive day!
Have a positive day!

Dunia Inspirasi Copyright © 2011 | Template created by O Pregador | Powered by Blogger