Kamis, 29 Januari 2009

Mendefinisikan Realitas

Tanggung jawab pertama seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Yang terakhir adalah mengucapkan terima kasih. Dan di antara kedua hal itu, pemimpin adalah seorang pelayan (a servant) dan seorang yang berhutang (a debtor).
�� Max De Pree



Tidak mudah mendefinisikan zaman ini. Pada satu sisi, banyak orang bicara atau menulis soal �kematian� di mana-mana. Lihat saja judul-judul buku terlaris seperti: the death of economics, school is dead, the death of competition, the end of management, the end of education, the end of nation state, the end of history, dan sebagainya. Pada sisi lain, orang bicara dan menulis tentang segala sesuatu yang �serba baru�, seperti judul buku-buku berikut: the rise of nation state, new economy, digital economy, knowledge economy, attention economy, knowledge management, knowledge society, learning organization, network organization, adaptive organization, crazy organization, relational organization, democratic organization, virtual organization, quantum learning, dan sebagainya. Di sudut yang satu orang berteriak �globalisasi�, sementara pada saat yang bersamaan berkumandang teriakan tandingan �otonomi daerah�. Orang juga bicara soal pentingnya �focus� dan �loyalty�, tetapi yang serba multi juga marak seperti: multi purpose van, multi job, multi income, multi career, multi level marketing, sampai multiculturalism. The age of paradox, terra incognita, post-modernisme?
Menyebut zaman ini sebagai era informasi atau era pengetahuan pun tidak membuat kita mudah memahami maknanya. Sebab pada satu sisi kita dibanjiri oleh begitu banyak informasi dan pengetahuan yang begitu mudah diakses dari sumber-sumber pertama yang berada di sudut-sudut global village meski secara geografis letaknya dipisahkan oleh samudra luas antar benua. Pengetahuan dunia ada di ujung jari para pengguna internet yang jumlahnya terus berkembang secara eksponensial. Namun, pada sisi lain banjir data, informasi, dan pengetahuan itu justru membuat kita bingung untuk dapat memilih mana yang sebenarnya berguna dan mana yang tidak berguna sama sekali. Kita justru semakin kurang pengetahuan, pada saat pengetahuan itu justru berlebih-lebihan. Begitulah, kalau dulu kita mengejar data, informasi, dan pengetahuan sampai ke Amerika dan Eropa, maka sekarang informasi, data, dan pengetahuan �mengejar� kita sampai ke wilayah-wilayah yang bersifat pribadi di sudut-sudut rumah kita (ingat, e-mail dan SMS dapat menjangkau banyak orang, bahkan ketika mereka sedang berada di WC rumahnya).
Dulu sebagian dari kita mungkin pernah berpikir bahwa seandainya kita memiliki cukup pengetahuan, maka relatif mudah untuk memprediksi masa depan? Tapi apa yang terjadi dengan orang-orang yang dianggap paling berpengetahuan, pakar-pakar dengan atribut akademis lengkap sampai tingkat doktoral? Tidakkah kita menemukan bahwa ternyata mereka juga tidak bisa mendeskripsikan masa depan kita semua? Catat saja berbagai prediksi yang kemudian terbukti keliru tentang perkembangan ekonomi dan politik negeri ini. Siapa yang pernah membayangkan peristiwa 14-15 Mei 1998 akan terjadi dan mengakibatkan Soeharto �turun tahta� minggu berikutnya? Dan ketika Gus Dur menjadi Presiden RI, siapa pernah menduga bahwa masa pemerintahannya akan begitu pendek? Siapa yang pernah meramalkan bahwa wanita bernama Megawati Soekarnoputeri akan jadi Presiden Indonesia dengan dukungan kelompok yang pernah menolaknya mati-matian, bahkan dengan menggunakan ayat-ayat suci agama tertentu? Ingat juga bagaimana tragedi runtuhnya Menara Kembar WTC di New York, 11 September 2001, yang melampaui imajinasi penulis skenario film-film Hollywood, yang paling liar sekalipun. Siapa menduga bahwa �popularitas� Putri Diana akan tersaingi oleh Osama Bin Laden, bukan oleh Julia Robert, Jennifer Lopez, atau Britney Spears?


Sungguh tidak mudah mendefinisikan sebuah zaman. Dan pekerjaan yang tidak mudah itu adalah tanggung jawab pertama seorang pemimpin. Ia harus mendefinisikan realitas. Ia harus belajar banyak dari sejarah, tetapi tidak terpasung oleh catatan sejarah. Ia harus mendefinisikan realitas masa kini, memahami makna berbagai peristiwa di berbagai belahan dunia, namun dengan kemampuan membaca realitas masa depan tanpa terjebak pada �hyper-reality� atau pun �virtual reality� yang tidak sungguh-sungguh �real�. Bukan main sulitnya, tetapi �sulit� tidak berarti impossible.
Karena mendefinisikan realitas tidak pernah mudah, maka saya sering bertanya-tanya bagaimana para pemimpin menunaikan tanggung jawab pertamanya ini. Dan sejauh ini, studi saya menunjukkan beberapa hipotesis berikut.
Pertama, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin perlu belajar untuk lebih banyak mendengarkan (listening). Ia harus belajar mendengarkan �suara-suara�. Termasuk dalam �suara-suara� itu adalah �suara� dari yang Gaib (Tuhan), suara hati nuraninya (bila masih fungsional), dan suara konstituen potensialnya (entah itu rakyat, umat, pegawai, atau komunitas lainnya). Dalam proses mendengarkan ini ia mungkin juga perlu banyak membaca, tetapi yang lebih penting mungkin adalah merenung-renungkan, berkontemplasi, menelusuri sanctuary-nya, lalu membedakan antara yang esensial dan yang tidak esensial.
Kedua, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin belajar untuk berempati, terutama berempati pada konstituen potensialnya. Ia harus mampu merasakan secara emosional berbagai jeritan hati dan penderitaan, sekaligus berbagai macam harapan dan impian konstituennya. Tidak cukup hanya sekadar �tahu�, harus sampai �rasa�.
Ketiga, untuk dapat mendefinisikan realitas para pemimpin selalu mengembangkan kesadaran (awareness) yang lebih besar, terutama mengenai dirinya (self-awareness) itu apa dan siapa. Ia masuk ke dalam kemanusiaannya sendiri, dan dengan cara itu ia makin menegaskan harkat dan martabat dirinya sebagai pertama-tama manusia, sama seperti konstituen yang ingin dilayaninya.
Keempat, untuk dapat mendefinisikan realitas pemimpin mengasah mata batinnya (eye of spirit), menerobos kungkungan masa kini menuju masa depan yang lebih manusiawi. Dengan cara ini ia dimungkinkan untuk merumuskan konsep (conceptualization), yang kemudian disusun menjadi �visi�-nya (vision statement).
Banyak mendengarkan, berempati, awareness, dan melihat dengan mata batin, itulah yang saya kira menolong para pemimpin untuk mampu mendefinisikan realitas, menunaikan tanggung jawabnya yang pertama.
Bila hipotesis di atas dapat diterima, maka kita mungkin dapat kembali menyadari betapa langkanya manusia yang disebut pemimpin itu di negeri kita. Kita memiliki begitu banyak pejabat, yakni pemangku jabatan kepemimpinan, tetapi sulit menemukan orang-orang yang mau sungguh-sungguh mendengarkan. Kalau ada pertemuan yang dihadiri para pejabat, maka mereka biasanya justru diberi banyak kesempatan untuk (dan maunya memang) berbicara, memberikan �pengarahan�, �petunjuk�, dan sebangsanya. Pada hal kebutuhan kita yang utama adalah �didengarkan�, �dimengerti�, dan �dipahami�, bukan �dikuliahi�.
Kita memiliki begitu banyak �atasan� atau �boss�, tetapi begitu sulit mencari mereka yang mampu berempati. Kebanyakan �atasan� dan �boss� kita memang �tahu� apa yang kita rasakan, tetapi tidak �merasakan� apa yang kita rasakan. Mereka �tahu� betapa menderitanya pegawai-pegawai kecil, pengajar-pengajar sekolahan, pengusaha skala micro-kecil, bila harga-harga membumbung, tarif listrik-BBM-telepon naik sambung menyambung, tetapi mereka �tidak sampai merasakan� semua itu.
�Atasan� dan �boss� kita juga sering menunjukkan tanda-tanda �lupa diri�. Ketika banyak anggota masyarakat kehilangan penghasilan utama, kaum �atasan� dan �boss� itu masih saja melancong ke manca negara, pamer kemampuan membeli mobil mewah, dan berbagai perilaku kasat mata yang tidak menunjukkan adanya kesadaran diri bahwa mereka hidup dalam lingkungan masyarakat yang sedang sangat menderita, dan semakin menderita menyaksikan sikap dan perilaku mereka yang tidak menunjukkan entah itu sense of crisis, sense of urgency, atau sense-sense lainnya. Sepertinya mereka justru kehilangan commonsense (akal sehat)-nya.
Ujung-ujungnya, kita kesulitan menemukan �atasan� dan �boss� yang visioner, yang mampu memperlihatkan kepada kita direction yang lebih baik. Kita tidak tahu apa yang mereka �lihat� dengan mata batinnya, sehingga kita ragu apakah mereka memiliki jiwa reformis atau cuma penjaga status quo yang berbulu reformis (musang berbulu domba).
Konsekuensi dari semua itu adalah kita kehilangan kemampuan untuk memahami zaman apa yang sedang kita masuki dewasa ini. Kita telah kehilangan orang-orang yang mampu mendefinisikan realitas, bahkan lebih parah lagi, kita kehilangan orang-orang yang mau menerima tanggung jawab untuk mendefinisikan realitas itu. Yang banyak kita jumpai adalah mereka yang masih �rajin� melempar tanggung jawab, mencari-cari kambing hitam ketika setiap permasalahan muncul ke permukaan.
Mudah-mudahan seluruh hipotesis saya keliru.
* Andrias Harefa adalah seorang pembelajar Sekolah Kehidupan, inisiator website Pembelajar.com, dan telah menghasilkan 25 buku laris. Ia juga dikenal dengan julukan WTS (writer, trainer, speaker). Ia dapat dihubungi di: aharefa@cbn.net.id.

Jumat, 23 Januari 2009

Katakan, Lakukan, Tunjukan CINTAmu


Banyak pria mengatakan bahwa ia bukan tipe orang yang mengucapkan kata-kata CINTA kepada seorang wanita. Ia lebih suka menunjukkan saja CINTA-nya. Lalu ada wanita yang mengatakan bahwa ia tidak percaya kata-kata CINTA sampai ia melihat seorang pria membuktikannya melalui perbuatannya. Lalu ada wanita lain lagi yang kesal karena kekasihnya tidak pernah mengatakan CINTA kepadanya, walau secara konsisten ia melakukan berbagai hal untuk menunjukkan itu.
Semuanya itu fine saja. Yang perlu diingat, itu adalah MODEL DUNIA orang-orang yang mengatakan hal ini. Itu adalah REPRESENTASI CINTA di PETA PIKIRAN mereka sendiri. Ini bisa saja berlaku dalam PETA orang lain bisa tidak. Setiap orang mempunyai REPRESENTASI sendiri-sendiri dalam pikiran mereka tentang CINTA.
Saya ingat lirik lagu 'Extreme' yang sempat tenar tahun 90-an, dengan 'More Than Words', yang pesannya, tidak cukup fungsi Auditory saja yang di-trigger, tapi juga visual, yakni tunjukkan sesuatu yang perlu saya lihat, atau lakukan sesuatu sehingga saya bisa rasakan. Lalu ada juga lirik lagu 'Wet Wet Wet', dalam lagunya 'Love is All Around' yang mengatakan 'If you really love me, come on and let it SHOWED', lalu di awal lagu ada lirik 'I FEEL it in my finger, I FEEL it in my toes'. Alias tunjukkan cintamu, biarkan saa merasak. Lalu Diana Ross berucap 'When you TELL me that you love me'.

Apa yang ingin saya katakan dengan ini?


REPRESENTASI CINTA itu bervariasi untuk siapa saja. Ada dua gap dalam mengungkapkan dan menangkap hal ini. Pertama, dalam mengungkapkan, kita kadang hanya menggunakan REPRESENTASI pribadi kita dalam menangkap. Hanya karena kita menganggap kita lebih senang orang lain menunjukkan cintanya dibanding mengucapkan, kita MEMILIH hanya melakukan berbagai hal untuk menunjukkan CINTA kita, misalnya. Kedua, dalam hal menangkap, kita kadang hanya mengharapkan partner kita memahami REPRESENTASI kita tanpa sama sekali mengungkapkannya. 'Ia seharusnya tahu', demikian dialog internal kita. Sayangnya hampir semua kita tidak berpasangan dengan paranormal.
Pikirkan dan lakukan hal yang simple saja. Karena CINTA, sebagaimana berbagai hal lain dalam hidup, memang seharusnya sederhana.
Pertama, kita tentu happy saat partner kita me-REPRESENTASI-kan CINTA-nya sesuai dengan REPRESENTASI kita. Saat kita ingin mereka KATAKAN, mereka KATAKAN. Saat kita ingin mereka LAKUKAN, mereka LAKUKAN. Jadi, bukan hanya tugas mereka semata untuk menyelidiki sampai frustrasi. Kita punya porsi untuk membantu mereka belajar bagaimana memenuhi REPRESENTASI kita. Dan ini, by the way, bukan hanya berarti memberikan sinyal-sinyal tertentu saja, lalu kita yang frustrasi karena mereka tidak 'mudeng' atau tidak kunjung bisa menangkap sinyal kita. Bila perlu, KATAKAN! Dan saat mereka benar-benar REPRESENTASI-kan sesuai keinginan kita, HARGAI dan APRESIASI! Karena ternyata ada yang malah bilang 'tumben', atau 'bener nih?'. Anda entah mau membunuh kemajuan ini atau mendorong lebih mau lagi.
Kedua, karena kita akan sangat menghargai saat REPRESENTASI kita dipergunakan, saat kita sebagai yang hendak me-REPRESENTASI-kan, gunakan REPRENSENTASI mereka! Kalau tidak tahu, tanya! Minta mereka mengajarkan kepada kita! Mencoba menangkap sinyal atau menebak, kadang berhasil, tapi kadang berantakan. Tanya dan pelajari dari mereka!
Cara paling aman dan nyaman? Saat kita hendak me-REPRESENTASI-kan, pergunakan semua sistem REPRESENTASI CINTA yang mungkin. KATAKAN CINTA Anda, TUNJUKAN, LAKUKAN sesuatu yang bisa mereka RASAKAN, gunakan sebuah WANGIAN tertentu yang bisa di-HIRUP, dan sesuatu yang bisa DIKECAPI. Kalau CINTA, ada PILIHAN untuk KATAKAN, LAKUKAN sesuatu untuk buktikan dan membuat pasangan RASAKAN, dan TUNJUKAN!

Sabtu, 17 Januari 2009

Kemana Kesadaran diri Kita



Dalam kehidupan ini banyak sekali orang yang berupaya mencari kesadaran diri atau lebih kerennya adalah mencari diri kita sejati. Mengetahui diri kita sejati adalah sebuah upaya yang bisa menjadikan hidup kita lebih bermakna dan bermanfaat pada orang lain. Puncak dari kesadaran diri kita akan membawa kita dalam kehidupan yang lebih damai.
Kesadaran diri adalah keadaan dimana Anda bisa memahami diri Anda sendiri dengan setepat-tepatnya. Anda disebut memiliki kesadaran diri jika Anda memahami emosi dan mood yang sedang dirasakan, kritis terhadap informasi mengenai diri Anda sendiri, dan sadar tentang diri Anda yang nyata. Pendek kata, kesadaran diri adalah jika Anda sadar mengenai pikiran, perasaan, dan evaluasi diri yang ada dalam diri Anda.
Orang sedang berada dalam kesadaran diri memiliki kemampuan memonitor diri, yakni mampu membaca situasi sosial dalam memahami orang lain dan mengerti harapan orang lain terhadap dirinya. Kalau orang lain mengharapkan Anda bicara, maka Anda bicara. Kalau orang lain mengharapkan Anda diam, maka Anda diam. Kalau orang lain mengharapkan Anda yang maju duluan, Anda maju duluan.


Orang yang bisa memonitor diri pasti disukai orang lain. Namun jika kemampuan monitor dirinya sangat tinggi malah bisa menjadi bunglon, alias tidak memiliki identitas karena dimana-mana selalu berusaha menyesuaikan diri. Sebaliknya, orang yang rendah monitor dirinya selalu berperilaku konsisten karena tidak ada usaha untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi. Entah di pesta, di rapat, di acara apapun dan bertemu siapapun perilakunya tetap saja sama.
Secara ekstrem, kesadaran diri bisa dibedakan menjadi dua, yakni kesadaran diri publik dan kesadaran diri pribadi. Orang yang memiliki kesadaran diri publik berperilaku mengarah keluar dirinya. Artinya, tindakan-tindakannya dilakukan dengan harapan agar diketahui orang lain. Orang dengan kesadaran publik tinggi cenderung selalu berusaha untuk melakukan penyesuaian diri dengan norma masyarakat. Dirinya tidak nyaman jika berbeda dengan orang lain.
Orang dengan kesadaran diri pribadi tinggi berkebalikan dengan kesadaran diri publik. Tindakannya mengikuti standar dirinya sendiri. Mereka tidak peduli norma sosial. Mereka nyaman-nyaman saja berbeda dengan orang lain. Bahkan tidak jarang mereka ingin tampil beda. Mereka-mereka yang mengikuti berbagai kegiatan yang tidak lazim dan aneh termasuk orang-orang yang memiliki kesadaran diri pribadi yang tinggi.

Minggu, 11 Januari 2009

Kekuatan perasaan 5.000 kali kekuatan pikiran


Jangan meremehkan kekuatan hati atau perasaan, karena ternyata kekuatannya 5.000 kali kekuatan pikiran. Selama ini para motivator selalu mengajar untuk berpikir positif, namun ternyata berperasaan positif juga penting untuk menggapai apa yang kita impikan, yakni dengan merasakan ikhlas.

�Hati itu bicaranya sederhana dan ikhlas itu kerja yang paling gampang. Tapi kesulitan kita belajar ikhlas itu karena pikiran kita sudah terlalu lama tidak sederhana. Pikiran selalu mencari data dan bukti nyata,� kata Erbe Sentanu, pelopor Teknologi Ikhlas dalam roadshow seminar buku yang ditulisnya �Quantum Ikhlas�.
Pada seminar yang diselenggarakan oleh Katahati Institute dengan Elex Media Komputindo ini juga tampil rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Komarudin Hidayat dengan moderator mantan model Auk Murat. Komarudin Hidayat memaparkan lima tangga kebahagian, yaitu kebahagiaan fisikal, kebahagiaan dari kapasitas intelektual, keindahan, kebahagiaan moral dan kebahagiaan spiritual.

Kebahagiaan fisikal menurut Komarudin Hidayat adalah yang terkait dengan fisik kita. �Jika capek, kita duduk. jika panas berteduh. Tapi kalau hidup mengandalkan fisik, jelas terbatas,� kata Komarudin Hidayat. Kebahagiaan kapasitas intelektual kita dapat dari membaca buku, membuat artikel atau tulisan. Keindahan juga merupakan sumber kebahagiaan. Sementara itu, keikhlasan akan bertemu dengan kebahagiaan moral. Sedangkan kebahagiaan spiritual akan kita rasakan saat kita bersyukur atau berterima kasih atas segala hal yang kita terima.
Ikhlas
Tuhan melalui berbagai ajaran agama telah mengajarkan kita menerapkan ikhlas agar kita mendapatkan apa pun yang kita inginkan. Sayangnya, sebagian orang malah keliru menafsirkan ikhlas dengan menggolongkannya sebagai sikap yang lemah. Padahal, di dalam ikhlas terdapat sifat-sifat ilahiah, sifat-sifat yang dimiliki Tuhan. Di antaranya, bersyukur, sabar, fokus, cinta, damai, dan bahagia. Karena itu ikhlas justru sangat powerful untuk diterapkan di semua bidang kehidupan.
Kondisi ikhlas bisa membawa manusia menjadi sangat kuat, cerdas dan bijaksana.Karena dengan hati yang ikhlas kita bisa berpikir lebih jernih, mampu menjalani hidup dengan lebih efektif dan produktif untuk mencapai tujuan. Bahkan hubungan dengan siapa pun akan terjalin semakin menyenangkan.
�Jika anda selalu �berhasil merasa� bahagia dan ikhlas di hati, anda akan memiliki hidup yang penuh dengan sukses kebahagiaan lahir batin yang sempurna,� kata Erbe Sentanu.

Dunia Inspirasi Copyright © 2011 | Template created by O Pregador | Powered by Blogger